Bandarlampung - Lembaga Bantuan Hukum Bandarlampung menilai di Provinsi Lampung setelah 15 tahun Reformasi belum nampak perubahan yang signifikan terhadap upaya pemenuhan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Menurut Ajie Surya Prawira, Kepala Divisi Sipil dan Politik LBH Bandarlampung, mendampingi Direkturnya, Wahrul Fauzi Silalahi di Bandarlampung, yang dilansir Antara, Selasa (10/12), berkaitan momentum Hari HAM Sedunia, berdasarkan data yang dihimpun sepanjang tahun 2013 terdapat 13 kasus kekerasan dan penyiksaan oleh aparat penehak hukum, dan 10 kasus pengadilan yang kotor.
Selain itu, terdapat 20 kasus tindak pidana korupsi, lima kasus diskriminasi ras, agama, dan suku terhadap golongan tertentu, 18 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, dan tiga kasus kriminalisasi aktivis.
Ajie menyatakan, fenomena negatif bagi Provinsi Lampung itu ditambah dengan berkembang dinasti politik dengan satu orang kepala daerah mengisi posisi jabatan penting kepada sanak famili dan kroninya yang bertujuan untuk mengamnkan dan melancarkan kekuasaannya, sehingga membuat susah terungkap kejahatan yang dilakukan oleh oknum Pemprov Lampung ini.
Dia menyatakan pula, di tengah kesemrawutan itu, muncul satu kekuatan baru yang sering menjadi aktor dalam pelanggaran HAM di Lampung, yaitu pelaku usaha bisnis besar (korporasi).
Keberadaan korporasi sering membuahkan konflik sumberdaya alam dan konflik tanah yang berakibat menimbulkan korban jiwa, ujarnya.
LBH Bandarlampung mencatat beberapa konflik besar yang melibatkan pelaku usaha/korporasi itu, antara lain konflik Mesuji berdarah (PT Silva Inhutani), konflik petambak udang Bratasena dengan Forsil ( PT Central Pertiwi Bahari), dan konflik masyarakat adat Negeri Besar ( PT Bumi Madu Mandiri).
Ketiga perusahaan tersebut adalah berskala nasional, bahkan proses perdagangannya berskala internasional sehingga kekuatan dan kekuasaannya melampaui pemerintah daerah, sehingga terlihat jelas dalam konflik itu pemerintah daerah lebih mendukung perusahan yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat, katanya lagi.
Selain beberapa isu pelanggaran HAM di atas, isu lingkungan dan kehutanan juga menjadi sangat penting dan mendapatkan sorotan LBH Bandarlampung.
LBH Bandarlampung mencatat setidaknya ada 15 kasus penambangan liar yang mengakibatkan kerusakan lingkungan dan mengganggu keseimbangan ekosistem yang memicu terjadi bencana ekologis.
Menurut Ajie, pihaknya menemukan fakta bahwa beberapa penambangan ilegal yang terjadi di Propinsi Lampung yang dilakukan masyarakat tradisional didalangi oleh perusahaan besar yang sulit mendapatka izin.
Selain itu, terjadi konflik di kawasan hutan, antara lain Register 45, Register 47, Register 19, dan Register 21, dengan warga yang telah tinggal menetap dan menjadikan hutan sebagai mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari termasuk masyarakat adat dianggap sebagai perambah.
Hal tersebut, ujar Ajie lagi, dikarenakan klaim pemerintah yang menetapkan status kawasan hutan tanpa investigasi langsung melihat kondisi hutan kawasan tersebut.
"LBH Bandarlampung menemukan fakta bahwa beberapa penambangan ilegal yang terjadi di Lampung yang dilakukan masyarakat tradisional didalangi oleh perusahaan besar yang sulit mendapatka izin," katanya pula,
Karena itu, LBH Bandarlampung mendesak agar penegak hukum dapat menangkap dan mengadili pelaku pelanggaran HAM berat Talang Sari 1989 serta menuntut proses rehabilitasi bagi keluarga korban.
"Kami juga mendesak adanya penindakan secara tegas kepada oknum aparat yang melakukan penyiksaan dan penembakan secara sewenang-wenang terhadap tersangka kriminal di daerah ini," ujarnya.
LBH Bandarlampung juga mendesak pengembalian hak tanah adat yang telah dirampas dari masyarakat adat di Lampung, menuntut pengadilan yang bersih, adil, dan menghentikan kriminalisasi aktivis.
LBH itu juga minta segera hentikan diskriminasi agama, suku, ras dan golongan tertentu di Lampung, tindak tegas dan menutup pelaku usaha (korporasi) yang tidak memenuhi hak-hak pekerja dan perampas tanah rakyat
"Kami juga mendesak pengembalian fungsi hutan dan minta adanya tindakan hukum bagi pelaku penambangan liar yang dibekingi aparat dan perusahaan, menuntut pemenuhan hak atas pendikan dan kesehatan yang layak bagi masyarakat miskin Lampung, dan menuntut pemenuhan hak ekonomi nelayan, buruh, petani dan masyarakat miskin di sini," kata Ajie pula.
Menurut Ajie Surya Prawira, Kepala Divisi Sipil dan Politik LBH Bandarlampung, mendampingi Direkturnya, Wahrul Fauzi Silalahi di Bandarlampung, yang dilansir Antara, Selasa (10/12), berkaitan momentum Hari HAM Sedunia, berdasarkan data yang dihimpun sepanjang tahun 2013 terdapat 13 kasus kekerasan dan penyiksaan oleh aparat penehak hukum, dan 10 kasus pengadilan yang kotor.
Selain itu, terdapat 20 kasus tindak pidana korupsi, lima kasus diskriminasi ras, agama, dan suku terhadap golongan tertentu, 18 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, dan tiga kasus kriminalisasi aktivis.
Ajie menyatakan, fenomena negatif bagi Provinsi Lampung itu ditambah dengan berkembang dinasti politik dengan satu orang kepala daerah mengisi posisi jabatan penting kepada sanak famili dan kroninya yang bertujuan untuk mengamnkan dan melancarkan kekuasaannya, sehingga membuat susah terungkap kejahatan yang dilakukan oleh oknum Pemprov Lampung ini.
Dia menyatakan pula, di tengah kesemrawutan itu, muncul satu kekuatan baru yang sering menjadi aktor dalam pelanggaran HAM di Lampung, yaitu pelaku usaha bisnis besar (korporasi).
Keberadaan korporasi sering membuahkan konflik sumberdaya alam dan konflik tanah yang berakibat menimbulkan korban jiwa, ujarnya.
LBH Bandarlampung mencatat beberapa konflik besar yang melibatkan pelaku usaha/korporasi itu, antara lain konflik Mesuji berdarah (PT Silva Inhutani), konflik petambak udang Bratasena dengan Forsil ( PT Central Pertiwi Bahari), dan konflik masyarakat adat Negeri Besar ( PT Bumi Madu Mandiri).
Ketiga perusahaan tersebut adalah berskala nasional, bahkan proses perdagangannya berskala internasional sehingga kekuatan dan kekuasaannya melampaui pemerintah daerah, sehingga terlihat jelas dalam konflik itu pemerintah daerah lebih mendukung perusahan yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat, katanya lagi.
Selain beberapa isu pelanggaran HAM di atas, isu lingkungan dan kehutanan juga menjadi sangat penting dan mendapatkan sorotan LBH Bandarlampung.
LBH Bandarlampung mencatat setidaknya ada 15 kasus penambangan liar yang mengakibatkan kerusakan lingkungan dan mengganggu keseimbangan ekosistem yang memicu terjadi bencana ekologis.
Menurut Ajie, pihaknya menemukan fakta bahwa beberapa penambangan ilegal yang terjadi di Propinsi Lampung yang dilakukan masyarakat tradisional didalangi oleh perusahaan besar yang sulit mendapatka izin.
Selain itu, terjadi konflik di kawasan hutan, antara lain Register 45, Register 47, Register 19, dan Register 21, dengan warga yang telah tinggal menetap dan menjadikan hutan sebagai mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari termasuk masyarakat adat dianggap sebagai perambah.
Hal tersebut, ujar Ajie lagi, dikarenakan klaim pemerintah yang menetapkan status kawasan hutan tanpa investigasi langsung melihat kondisi hutan kawasan tersebut.
"LBH Bandarlampung menemukan fakta bahwa beberapa penambangan ilegal yang terjadi di Lampung yang dilakukan masyarakat tradisional didalangi oleh perusahaan besar yang sulit mendapatka izin," katanya pula,
Karena itu, LBH Bandarlampung mendesak agar penegak hukum dapat menangkap dan mengadili pelaku pelanggaran HAM berat Talang Sari 1989 serta menuntut proses rehabilitasi bagi keluarga korban.
"Kami juga mendesak adanya penindakan secara tegas kepada oknum aparat yang melakukan penyiksaan dan penembakan secara sewenang-wenang terhadap tersangka kriminal di daerah ini," ujarnya.
LBH Bandarlampung juga mendesak pengembalian hak tanah adat yang telah dirampas dari masyarakat adat di Lampung, menuntut pengadilan yang bersih, adil, dan menghentikan kriminalisasi aktivis.
LBH itu juga minta segera hentikan diskriminasi agama, suku, ras dan golongan tertentu di Lampung, tindak tegas dan menutup pelaku usaha (korporasi) yang tidak memenuhi hak-hak pekerja dan perampas tanah rakyat
"Kami juga mendesak pengembalian fungsi hutan dan minta adanya tindakan hukum bagi pelaku penambangan liar yang dibekingi aparat dan perusahaan, menuntut pemenuhan hak atas pendikan dan kesehatan yang layak bagi masyarakat miskin Lampung, dan menuntut pemenuhan hak ekonomi nelayan, buruh, petani dan masyarakat miskin di sini," kata Ajie pula.