Bandarlampung - Penjabat Wali Kota Bandarlampung Sulpakar meminta para camat dan lurah agar lebih tanggap mengatasi penyebaran penyakit demam berdarah dengue sehubungan musim hujan masih melanda daerah itu.
"Camat dan lurah harus lebih meningkatkan kewaspadaan terhadap DBD dan tanggap jika ada penderita DBD," kata Sulpakar di Bandarlampung, Sabtu.
Sebab, Kota Bandarlampung termasuk daerah endemis demam berdarah dengue. Kasus demam berdarah dengue (DBD) di Bandarlampung tahun 2015 meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Pada 2014, jumlah kasus positif DBD sebanyak 340 kasus dan meninggal 6 orang, sedang di tahun 2015 mencapai 585 kasus DBD dan meninggal 12 orang.
Sulpakar mengatakan, jika ada warga yang mengalami panas tinggi maka harus segera dibawa ke puskesmas terdekat.
"Jika ada warga yang meminta daerahnya dilakukan pengasapan atau pengasapan maka permintaan itu perlu segera dipenuhi," katanya.
Sehubungan itu, ia meminta seluruh masyarakat di Bandarlampung untuk lebih waspada terhadap DBD.
"Kami akan pantau setiap kecamatan. Jika ada yang positif terkena DBD atau ada permintaan dari warga maka akan dilakukan fogging di daerah tersebut," kata dia.
Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Kota Bandarlampung dr Edwin Rusli mengatakan pihaknya akan berusaha segera melakukan pengasapan ketika ada warga yang positif kena DBD.
"Untuk menekan penyebaran DBD, pemkot akan melaksanakan sejumlah program mulai dari memberdayakan kelompok juru pemantau jentik, menekankan kegiatan 3M, yakni menguras, menutup dan mengubur wadah genangan air," kata dia.
Ia pun meminta masyarakat tetap waspada, terutama jika menderita demam dalam tiga hari berturut-turut dengan segera mendatangi puskesmas dan rumah sakit terdekat.
Ia melanjutkan, pemkot akan berusaha menurunkan jumlah penderita penyakit DBD di Kota Tapis Bersih di tahun 2016 ini.
Edwin mengatakan, langkah yang diambil untuk mewujudkan target tersebut, yakni dengan menurunkan tim untuk melakukan promosi kesehatan dan pencegahan penyakit.
"Kami akan menurunkan tim ke lapangan dan dibantu juga dengan kader posyandu, melakukan sosialisasi tentang promosi kesehatan dan pencegahan penyakit," kata dia.
Menurutnya, saat ini ada 3300 kader posyandu yang tersebar di 20 kecamatan di Bandarlampung.
"Dengan adanya tim dan dibantu 3300 kader posyandu, maka sangat membantu untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang promosi kesehatan dan pencegahan penyakit," katanya.
Untuk menekan peredaran, kata Edwin, pihaknya tengah melaksanakan sejumlah program mulai dari memberdayakan kelompok Juru Pemantau Jentik (Jumantik), menekankan kegiatan 3M, yakni menguras, mengubur, dan menutup tempat pembuangan air.
"Masalah dasarnya adalah DBD masih belum dipandang sebagai penyakit yang berbahaya, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Masih banyak masyarakat yang belum mengenali gejala penyakit DBD," katanya.
Umumnya pemahaman yang berkembang kalau DBD itu cirinya ada titik-titik merah, padahal sebagian besar kasus bintik itu baru muncul ketika penyakitnya sudah parah dan kondisi korban sudah kritis, terlebih kalau penderita berkulit gelap, kadang tandanya tidak muncul sama sekali.
Edwin menjelaskan, seluruh kematian penderita DBD diakibatkan keterlambatan penanganan, masa kritis DBD terjadi pada hari keempat sampai ketujuh. "Pada saat itu, kondisi demam sudah turun dan kondisi sudah terlihat stabil, padahal tubuh menjadi dingin akibat keringat dan tromobosit yang sudah berkurang," jelasnya.
Edwin minta masyarakat agar cepat tanggap jika mengalami demam selama tiga hari berturut-turut, saat ini di Puskesmas sudah terdapat alat deteksi DBD. "Jadi tesnya cukup mudah, kalau tromobositnya drop dan memang ditemukan virus, pengobatannya bisa langsung dimulai. Apalagi pengobatan DBD ini tergolong mudah, cukup dengan penambahan cairan dan obat biasa, setelah itu kondisi akan berangsur normal," katanya
"Camat dan lurah harus lebih meningkatkan kewaspadaan terhadap DBD dan tanggap jika ada penderita DBD," kata Sulpakar di Bandarlampung, Sabtu.
Sebab, Kota Bandarlampung termasuk daerah endemis demam berdarah dengue. Kasus demam berdarah dengue (DBD) di Bandarlampung tahun 2015 meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Pada 2014, jumlah kasus positif DBD sebanyak 340 kasus dan meninggal 6 orang, sedang di tahun 2015 mencapai 585 kasus DBD dan meninggal 12 orang.
Sulpakar mengatakan, jika ada warga yang mengalami panas tinggi maka harus segera dibawa ke puskesmas terdekat.
"Jika ada warga yang meminta daerahnya dilakukan pengasapan atau pengasapan maka permintaan itu perlu segera dipenuhi," katanya.
Sehubungan itu, ia meminta seluruh masyarakat di Bandarlampung untuk lebih waspada terhadap DBD.
"Kami akan pantau setiap kecamatan. Jika ada yang positif terkena DBD atau ada permintaan dari warga maka akan dilakukan fogging di daerah tersebut," kata dia.
Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Kota Bandarlampung dr Edwin Rusli mengatakan pihaknya akan berusaha segera melakukan pengasapan ketika ada warga yang positif kena DBD.
"Untuk menekan penyebaran DBD, pemkot akan melaksanakan sejumlah program mulai dari memberdayakan kelompok juru pemantau jentik, menekankan kegiatan 3M, yakni menguras, menutup dan mengubur wadah genangan air," kata dia.
Ia pun meminta masyarakat tetap waspada, terutama jika menderita demam dalam tiga hari berturut-turut dengan segera mendatangi puskesmas dan rumah sakit terdekat.
Ia melanjutkan, pemkot akan berusaha menurunkan jumlah penderita penyakit DBD di Kota Tapis Bersih di tahun 2016 ini.
Edwin mengatakan, langkah yang diambil untuk mewujudkan target tersebut, yakni dengan menurunkan tim untuk melakukan promosi kesehatan dan pencegahan penyakit.
"Kami akan menurunkan tim ke lapangan dan dibantu juga dengan kader posyandu, melakukan sosialisasi tentang promosi kesehatan dan pencegahan penyakit," kata dia.
Menurutnya, saat ini ada 3300 kader posyandu yang tersebar di 20 kecamatan di Bandarlampung.
"Dengan adanya tim dan dibantu 3300 kader posyandu, maka sangat membantu untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang promosi kesehatan dan pencegahan penyakit," katanya.
Untuk menekan peredaran, kata Edwin, pihaknya tengah melaksanakan sejumlah program mulai dari memberdayakan kelompok Juru Pemantau Jentik (Jumantik), menekankan kegiatan 3M, yakni menguras, mengubur, dan menutup tempat pembuangan air.
"Masalah dasarnya adalah DBD masih belum dipandang sebagai penyakit yang berbahaya, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Masih banyak masyarakat yang belum mengenali gejala penyakit DBD," katanya.
Umumnya pemahaman yang berkembang kalau DBD itu cirinya ada titik-titik merah, padahal sebagian besar kasus bintik itu baru muncul ketika penyakitnya sudah parah dan kondisi korban sudah kritis, terlebih kalau penderita berkulit gelap, kadang tandanya tidak muncul sama sekali.
Edwin menjelaskan, seluruh kematian penderita DBD diakibatkan keterlambatan penanganan, masa kritis DBD terjadi pada hari keempat sampai ketujuh. "Pada saat itu, kondisi demam sudah turun dan kondisi sudah terlihat stabil, padahal tubuh menjadi dingin akibat keringat dan tromobosit yang sudah berkurang," jelasnya.
Edwin minta masyarakat agar cepat tanggap jika mengalami demam selama tiga hari berturut-turut, saat ini di Puskesmas sudah terdapat alat deteksi DBD. "Jadi tesnya cukup mudah, kalau tromobositnya drop dan memang ditemukan virus, pengobatannya bisa langsung dimulai. Apalagi pengobatan DBD ini tergolong mudah, cukup dengan penambahan cairan dan obat biasa, setelah itu kondisi akan berangsur normal," katanya