Bandarlampung - Sekitar 50 buruh migran di Hong Kong yang tergabung dalam Asian Migrant Coordinating Body (AMCB) menggelar aksi protes di depan Kedutaan Besar Arab Saudi di Hong Kong menuntut pengampunan bagi Satinah Binti Jumaidi Ahmad yang terancam hukuman mati di Arab Saudi.
"Satinah bukan pelaku kriminal. Dia hanyalah ibu rumah tangga yang merantau demi menghidupi keluarga. Dia keluar negeri untuk bekerja, bukan untuk membunuh majikannya. Kami yakin ada kondisi yang melatarbelakangi tindakan Satinah itu," ujar Eni Lestari, juru bicara AMCB dalam penjelasan yang diterima di Bandarlampung, Minggu (16/2).
Satinah, seorang buruh migran Indonesia dari Semarang, merantau ke Saudi Arabia untuk menghidupi kedua anaknya.
Namun pada tahun 2007, Satinah ditangkap dengan tuduhan membunuh majikannya Nura al-Garib dan mencuri uang.
Pada tahun 2010, Satinah divonis bersalah telah membunuh majikannya secara spontan, namun keluarga majikan memaafkannya jika bisa menyediakan uang tebusan 7 juta riyal atau sekitar Rp17,5 miliar.
Eni menambahkan, meski Konvensi Perlindungan PRT C189 telah disahkan, kondisi kerja buruh migran sektor pekerja rumah tangga (PRT) itu masih sangat buruk, seperti tidak ada libur, pembatasan jam kerja, tempat istirahat dan hak-hak lain.
Tidak adanya perlindungan hukum di Arab Saudi atau negara-negara penempatan lainnya menyebabkan buruh migran tidak berdaya ketika menghadapi majikan yang jahat. Jika mereka bertahan semakin teraniaya, tapi jika meninggalkan rumah majikan maka kemungkinan akan ditangkap aparat setempat, katanya lagi.
"Mayoritas buruh migran tidak diberitahu hak-haknya dan lembaga mana yang bisa dihubungi jika membutuhkan bantuan. Nomor hotline kedutaan Indonesia di negara penempatan pun belum tentu tahu. Mereka hanya diberi nomor PJTKI dan agen, tapi seperti halnya pengalaman Erwiana, agen malah memaksa mereka untuk terus bekerja di rumah majikannya yang jahat," kata Eni pula.
Ia mempertanyakan, kenapa pemerintah Indonesia selalu lamban dalam menyikapi kasus-kasus buruh migran termasuk yang dialami Satinah.
Bantuan hukum bagi Satinah baru diberikan ketika kasusnya tinggal menunggu vonis dan bukan dari awal ketika Satinah ditangkap.
"Saat ini, ada 28 buruh migran Indonesia yang juga sedang menunggu hukuman mati di Arab Saudi. Ngatini yang dinyatakan telah meninggal juga masih belum jelas kapan jenazahnya boleh dipulangkan," kata dia lagi.
Dia menegaskan, Satinah tidak harus menghadapi hukuman mati jika negara menyediakan lapangan kerja dengan upah layak di dalam negeri atau ketika dia mengalami kesulitan tahu kemana harus meminta pertolongan.
"Tapi sayangnya, Satinah dan PRT-PRT migran lainnya harus berjuang mencari solusinya sendiri di tengah absen perlindungan yang dibutuhkan. Satinah hanyalah korban kemiskinan, pembodohan, dan penelantaran," ujarnya pula.
Selain buruh migran, organisasi Hong Kong yang turut memberikan solidaritasnya antara lain Federasi Internasional Pekerja Rumah Tangga (IDWF), Socialist Action, Asian Monitor Resource Centre (AMRC), dan Asian Pacific Mission for Migrants (APMM) yang turut meminta pengampunan bagi Satinah.
Aksi yang berlangsung selama satu jam di depan kantor Kedubes Arab Saudi di Hong Kong, Sabtu (15/2) itu juga membawa kekecewaan dari peserta aksi karena penolakan kedubes untuk menerima petisi yang ditandatangani 20 organisasi.
"Kami tidak akan menyerah untuk memperjuangkan pembebasan Satinah dan buruh migran lain yang terancam hukuman mati. Kami sedang berkoordinasi dengan jaringan internasional untuk menggelar aksi-aksi protes di depan Kedubes Arab Saudi dan mengirimkan petisi kepada Raja Arab. Keadilan bagi Satinah adalah keadilan bagi kami semua," demikian Eni Lestari.
Powered by Blogger.